Rabu, 10 April 2013


BERPIKIR DAN BERTINDAK “OUT OF THE BOX”
Kalau yang ini adalah tulisan bapak Perry Tristianto, salah seorang usahawan terkemuka di kota Bandung. berikut tulisannya...

Ada seorang anak laki-aki tunanetra duduk di tangga sebuah bangunan dengan sebuah topi terletak di dekat kakinya. Ia mengangkat sebuah papan yang bertuliskan: “Saya buta, tolong saya”. Tak berapa lama, nampak hanya ada beberapa keping uang di dalam topi itu. Kemudian datanglah seorang pria berjalan melewati tempat anak ini. Ia mengambil beberapa keping uang dari sakunya dan menjatuhkannya ke dalam topi itu. Lalu ia mengambil papan, membaliknya dan menulis beberapa kata. Pria ini menaruh papan itu kembali sehingga orang yang lalu lalang dapat melihat apa yang baru saja ia tuliskan.
Segera sesudahnya, topi itu pun terisi penuh. Semakin banyak orang memberi uang kepada  anak tuna netra ini. Sore itu pria yang telah mengubah kata-kata di papan tersebut datang untuk melihat perkembangan yang terjadi. Anak ini mengenali langkah kakinya dan bertanya, “Apakah Bapak yang telah mengubah tulisan di papanku tadi pagi? Apa yang bapak tulis?”
Pria itu berkata, “Saya hanya menuliskan sebuah kebenaran. Saya menyampaikan apa yang kamu telah tulis dengan cara yang berbeda”. Apa yang ia telah tulis adalah: “Hari ini adalah hari yang indah dan saya tidak bisa melihatnya”. Bukankah tulisan yang pertama dengan yang kedua sebenarnya sama saja artinya?
Benar. Tentu arti kedua tulisan itu sama, yaitu bahwa anak itu buta. Tetapi, tulisan yang pertama hanya mengatakan bahwa anak itu buta. Sedangkan, tulisan yang kedua mengatakan kepada orang-orang bahwa mereka sangatlah beruntung bahwa mereka dapat melihat. Apakah kita perlu terkejut melihat tulisan yang kedua lebih efektif? 
 
Moral dari cerita ini: Bersyukurlah untuk segala yang kau miliki. Jadilah kreatif. Jadilah inovatif. Berpikirlah dari sudut pandang yang berbeda dan positif. Keluar dari “kotak” dan cobalah untuk melihat dari sudut pandang yang tidak biasa.
Dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menjalankan kewirausahaan, seringkali kita terjebak oleh pemikiran-pemikiran biasa. Ketika kita menghadapi masalah, seringkali kita terpaku kepada permasalahannya, dan tidak berusaha keluar dari masalah itu dengan melihatnya dari berbagai sisi. Kita  merasa jenuh, seringkali mengatakan segala sesuatunya sudah mentok. Padahal masih ada hal yang dapat kita ulang kembali dengan melihat permasalahan yang kita hadapi dengan cara berbeda. Kita seringkali terkurung dan terpatok untuk menjalani hidup yang rutin, bisnis yang “sekadar jalan”, tanpa berusaha melihat sisi lain yang barangkali memberikan peluang lebih bagus. Ketika bisnis kita sudah jalan dengan lancar kita lalu mandek, berhenti dan tidak lagi melakukan terobosan-terobosan berarti. Maka kita mengatakan bisnis kita ‘jalan di tempat’.
Seorang teman yang membuka kios kelontongan di pinggir jalan, dengan tambahan warnet di ruangan yang tersisa setiap hari mengeluh tentang semakin sepinya konsumen dan pengunjung warnetnya. Ia terjebak dengan kegiatan rutin, buka kios dan warnet, menunggu pembeli dan pengunjung, dan menghitung perolehan hari itu. Kadang dia mengeluhkan tentang setoran ke bank yang tidak mencukupi, sehingga ia berputar-putar pada masalahnya, tanpa usaha untuk mencari terobosan dengan cara beda. Padahal, tempat atau lokasi  kios itu strategis sekali. Pinggir jalan utama dekat perempatan, yang selalu dilewati banyak orang selama 24 jam. Toh ia masih mengeluh bisnisnya sepi.
Saya coba melihat dari sisi yang beda. Ia buka kiosnya dengan jam yang tidak teratur. Kadang jam 9 pagi, kadang jam 11. Bahkan beberapa kali saya lihat lewat tengah hari kios masih tutup. Ketika mengunjunginya suatu hari dan saya tanyakan kenapa sudah siang belum juga buka, dengan enteng dia menjawab, “Habis baru jam lima tadi saya tidur!”
Padahal ada anak yang sudah dapat diminta tolong untuk menjaga kios atau warnet, ada isteri dan saudara-saudara isterinya yang juga dapat dimintakan bantuannya untuk keperluan itu. Memang saya belum masuk terlalu jauh untuk menanyakan cash flownya. Yang saya amati dan dapat saya prediksikan dia kurang telaten untuk melakukan pencatatan atau pembukuan tentang keuangannya. Di samping itu ia juga kurang disiplin dalam mengelola kiosnya. Ia tidak pernah membuat jadwal atau menggilir anak atau saudara-saudaranya untuk menjaga kios dan warnet.  Jika ada anaknya atau saudara isterinya mengambil barang dari kiosnya, ia tidak pernah mencatat atau membayarnya. Dengan demikian, modal yang berputar itu dapat saja digerogoti oleh hal-hal kecil yang tidak diperhatikannya. Mungkin dari sisi itu ada kelemahan yang dapat dilakukan perbaikan.
Di samping “keluar dari kotak” (out of the box), pemikiran yang rutin, masih ada hal lain yang juga menjadi kelemahan para wirausahawan kita. Tidak hanya para wirausahawan, bahkan Koentjaraningrat pada akhir abad silam telah mengingatkan bahwa salah satu kelemahan mentalitas bangsa kita adalah suka menerabas. Kita lebih akrab dengan istilah “budaya instan”. Maunya serba cepat, serba oke, cepat berhasil, cepat sohor, cepat kaya tanpa mau bersusah payah menjalani prosesnya.
Banyak orang menawarkan kiat-kiat sukses yang menurut mereka instan. Menurut mereka menjadi kaya atau sukses tidak perlu bekerja keras karena ada formula “rahasia” untuk bisa meraih kekayaan dan kesuksesan seperti itu. Yang membuat sedih adalah mereka membangun mentalitas instan di dalam masyarakat, sehingga orang lupa bahwa proses adalah hukum alam untuk semua hal. Tidak ada orang yang begitu lahir terus langsung berlari. Setiap orang harus melewati proses pembelajaran setahap demi setahap untuk sekadar bisa berlari.
Tidak ada pohon atau peternakan siap saji. Yang ada adalah kebun sayur, yang harus dipelihara sejak kecil, disirami, dipupuk, dilindungi dari serangan hama, dipanen melewati mata rantai perdagangan yang panjang sebelum akhirnya masuk  ke dapur, dicuci, di potong-potong, dipanaskan dalam tungku api, diberi aneka bumbu sebelum akhirnya dapat terhidang di meja makan atau restoran.
Sebagian masyarakat kita adalah orang-orang yang lupa atau tidak melihat hukum alam ini. Dalam hidup kita berhadapan dengan hukum alam yang tidak bisa dilawan. Hidup ini seperti makan di restoran. Kita harus membayar dulu setiap porsi makanan yang kita makan. Tidak ada makanan yang gratis. Soalnya, kita memilih model restoran yang bayar dulu baru makan, atau makan dulu baru bayar kemudian. Persis seperti itulah hidup. Untuk setiap kesenangan, setiap keberhasilan, setiap kesuksesan, orang harus membayar harganya. Semakin besar nilai keberhasilan, kesenangan atau kesuksesan yang ingin diperoleh, semakin besar pula bayaran yang harus kita berikan. Kita juga bisa memilih jenis restoran yang bayar dulu atau bayar kemudian. Membayar di depan berarti kita harus bekerja keras, bersusah payah, membanting tulang memeras keringat dan jika perlu penuh dengan darah dan air mata, karena itulah harga yang harus kita bayar untuk mendapatkan  keberhaslan. Membayar di belakang berarti bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit berkepanjangan…
Bahkan ada pula para pemuja budaya instan, yang “mau makan tanpa bayar”. Orang macam ini ingin hidup santai, nyaman, sukses dan kaya tanpa mau bekerja keras. Orang-orang macam ini ingin cepat mendapatkan pekerjaan tertentu sehingga menyuap pun dilakukan. Orang ingin cepat kaya dengan mudah, maka yang dilakukan adalah mencuri, merampok, menghipnotis, berjudi dan korupsi. Pemerintah ingin memberantas kriminalitas, narkoba dan korupsi, yang dilakukan adalah pidato dan kampanye antikriminalitas, antinarkoba dan antikorupsi, tanpa pernah meneliti akar permasalahannya. Tanpa mencoba mengatasi dengan cara melewati prosesnya… Padahal, sesederhana macam apa pun segala hal yang ada di dunia ini harus ada prosesnya. Ini hukum alam. Dan, sekali lagi  kita tak dapat melawan hukum alam.
Kembali pada pemikiran “out of the box”, marilah kita mengajak orang-orang lain menuju hal-hal yang baik dengan hikmat. Jalani hidup ini tanpa dalih dan mengasihi tanpa rasa sesal. Ketika hidup memberi engkau 100 alasan untuk menangis, tunjukkan pada hidup bahwa engkau memiliki 1000 alasan untuk tersenyum. 
Hadapi masa lalumu tanpa sesal. Tangani saat sekarang dengan percaya diri. Bersiaplah untuk masa depan tanpa rasa takut. Peganglah iman dan tanggalkan ketakutan.
Orang bijak berkata, “Hidup harus menjadi sebuah proses perbaikan yang terus berlanjut, membuang kejahatan dan mengembangkan kebaikan... Jika engkau ingin menjalani hidup tanpa rasa takut, engkau harus memiliki hati nurani yang baik sebagai tiketnya”.   
Hal yang terindah adalah melihat seseorang tersenyum..Tapi yang terlebih indah adalah mengetahui bahwa engkau adalah alasan di belakangnya!

semoga.


Kamis, 04 April 2013

Kisah seorang kawan yang belajar berdagang

Setiap pagi setelah absen seperti biasa saya bergegas ke warung kopi. Biasalah.. sebelum beraktifitas rutin di kantor, kami hampir selalu  ngumpul di warung kopi sebelah lapangan kantor.  Ada yang memang sekedar ngopi, ada juga yang sarapan indomi. Dari jam 7 sampai jam 8 pagi. Slow start lah..

Kami sama-sama sebagai pegawai di sebuah kantor pemerintah.  Gaji lumayan lah untuk ukuran pegawai negeri. Dengan grade 11 saya terima bruto 10 jutaan. potong cicilan mobil sama rumah masih kebagian 6 jutaan, cukuplah buat belanja sebulan sama bayar sekolah anak-anak.

Ceritanya begini..
Sambil menunggu kopi yang masih terlalu panas, teman saya sebut saja Agung yang memaang jarang ikut ngopi ini bertanya kepada saya. " Mas, saya ini ingin memulai usaha, kira-kira apa yang cocok ya?"

Walah.. memang saya ini apa. Meski sudah memulai usaha, (selama ini teman-teman "terlanjur" kenal saya sebagai seorang pedagang mobil bekas),  namun boleh dibilang sampai saat ini saya belum bertemu dengan yang namanya "sukses". Lha istilahnya saya ini masih kaki lima. Belum sampe punya showroom. Apalagi punya showroom lima.  Meski kalo diitung kadang sebulan dapat lebih lima juta, kadang 3 juta. agak lumayan, meski ga tentu juga.

Kembali ke pertanyaan teman Agung tadi, setelah sedikit mikir-mikir saya balik bertanya. "Lhah sampeyan ini pengennya usaha seperti apa? mau buka toko? mau bikin rumah makan? Mau bikin quest house atau apa?"
 "Kalo rumah sewa saya sudah ada mas, rumah peninggalan orang tua yang di Cikoneng itu saya kelola jadi rumah sewa. Istilahnya  quest house. lumayanlah walau hanya satu rumah dengan 3 kamar, setiap akhir pekan selalu ada saja yang sewa. Rata2 rombongan keluarga dari luar kota yang maen ke Bandung mas." cerita Agung pada saya.
"Lha sampeyan ini sudah jadi pengusaha gitu, koq masih nanya saya." kataku.
"Saya ingin jualan mas, tentu selain tetap ngelola rumah sewa saya. Kira2 jualan apa ya? karena kalo mau ikut jualan mobil sepertinya modal saya belum seberapa".
Setelah nyruput kopi yang masih terasa hangat, saya lanjutkan obrolan sama Agung.

"Gung, sampeyan ini kan punya motor yang cukup bagus, selain saya lihat selalu klimis, juga sepertinya motor seperti punya sampeyan ini  lagi naek daun."

Ceritanya memang si Agung ini tiap hari brangkat pulang kantor sering terlihat nyempak motor Ninja 250 warna hijau. Selain kadang terlihat bawa mobil Hyundai sesekali juga.

"Maksudnya saya suruh jual motor saya mas?"

"Bukan begitu gung. Mulai dari yang ada pada sampeyan saat ini lah. Kan sebagai penggemar Kawasaki Ninja 250, tentu sudah hafal seluk beluk dan history dari Ninja 250. Tinggal sekarang coba riset harga pasar. liat juga para pedagang kira2 lepas barang diharga berapa. Kalo sudah hapal karakter dan harga pasaran, ya coba belanja lah. Mulai cari motor ninja di koran atau di internet yang sekiranya dari pemakai. Coba kalo bisa beli 3-5 juta dibawah pasaran. Trus jual lagi. Kalo dapetnya dari internet, ya jual di koran. Kalo dapetnya di koran, ya jual di internet.  Yang sampeyan pake itu sih pake saya sebagai klangenan.  
 
" O oo, gitu yo mas. Saya akan coba mas." kata Agung dengan bersemangat.
Saya liat Agung ini cukup punya potongan jadi pengusaha. Dari cara berfikir yang selalu ingin "nambah omset", juga cara bicara yang tidak banyak ngeyelan.

Tak terasa jam sudah menunjuk pukul 8. Bergegas kami habiskan sisa kopi dicangkir yang sudah mulai dingin. Tak lupa bayar pada ceuk Kantin.


"Kalo sudah yakin segera praktek ya Gung. Coba seminggu kluarin ninja satu ya." kata saya menutup pembicaraan sambil jalan bergegas menuju ruangan kerja.
" Insya Alloh mas. Saya akan coba". Kata Agung dengan menyakinkan.

Hari berjalan seiring kesibukan di kantor. Tidak terasa sudah sebulan saya pun agak lupa pernah ngobrolin jualan motor saya Agung teman saya tadi.

Dalam suatu kesempatan saat acara kantor bersama, Agung yang dulu pernah ngobrol di warung kopi itu berbisik pada saya.
"Mas, bulan ini saya sudah menjual 5 motor ninja 250. Se ekornya  ada lebih 2-2,5 juta. Lumayanlah meski modal saya hanya cukup untuk belanja 1 motor."
"wow.. Syukur Alhamdulillah lah. Memang Sampeyan lebih bakat jadi pengusaha dari pada saya." kata saya mengomentari laporan Agung tadi.

Begitulah, meski seorang pegawai negeri, kita tidak dilarang untuk cari tambahan penghasilan. Banyak cara untuk memulai usaha. Dengan buka rumah makan, bikin jualan di web, atau seperti teman saya tadi, jualan motor bekas. Yang jelas jangan cari-cari tambahan penghasilan dari pekerjaan kita di kantor. itu korupsi atau kolusi namanya.  Manfaatkan saja waktu diluar jam kantor, akhir pekan misalnya. Atau .. sedikit jam istirahat masih dimaklumilah.

Alloh menghamparkan siang untuk kita mencari rejeki, dan menggantinya dengan malam untuk kita istrahat dan bermunajat kepadaNya.
Yakinlah, dibalik setiap kesulitan, pasti ada jalan keluar.

Bandung, Januari 2013.


  

KISAH NYATA ARIF SI NARAPIDANA CILIK YANG CERDAS ...


ceritanya cerita dari seorang teman (mohon ijin copas) begini..
 


Terus terang, meski sudah beberapa kali mengadakan penelitian Kriminal di LP, pengalaman kali ini adalah pengalaman pertama saya ngobrol langsung dengan seseorang yang didakwa kasus pembunuhan berencana.

Dengan jantung dag dig dug, pikiran saya melayang-layang mengira-ngira gambaran orang yang akan saya temui. Suda h terbayang muka keji Hanibal Lecter, juga penjahat-penjahat berjenggot palsu ala sinetron, dan gambaran-gambaran pembunuh berdarah dingin lain yang sering saya temui di cerita TV.

Well, akhirnya setelah menunggu sekian lama berharap-harap cemas, salah satu sipir membawa seorang anak kehadapan saya.Yup, benar seorang anak berumur 8 tahun. Tingginya tidak lebih dari pinggang orang dewasa dengan wajah yang diliputi senyum malu-malu. Matanya teduh dengan gerak-gerik yang sopan.

Saya pun membaca berkas kasusnya yang diserahkan oleh sipir itu. Sebelum masuk penjara ternyata ia adalah juara kelas di sekolahnya, juara menggambar, jago bermain suling, juara mengaji dan azan di tingkat anak-anak.

Kemampuan berhitungnya lumayan menonjol. Bahkan dari balik sekolah di dalam penjara pun nilai sekolahnya tercatat kedua terbesar tingkat provinsi. Lantas kenapa ia sampai membunuh? Dengan rencana pula?

Kasus ini terjadi ketika Arif sebut saja nama anak ini begitu, belum genap berusia tujuh tahun.Ayahnya yang berdagang di sebuah pasar di daerah bekasi, dihabisi kepala preman yang menguasai daerah itu. Latar belakangnya karena si ayah enggan membayar uang 'keamanan' yang begitu tinggi.

Berita ini rupanya sampai di telinga Arif. Malam esok harinya setelah ayahnya dikebumikan ia mendatangi tempat mangkal preman tersebut. Bermodalkan pisau dapur ia menantang orang yang membunuh ayahnya.

"Siapa yang bunuh ayah saya!" teriaknya kepada orang yang ada di tempat itu.

"Gue terus kenapa?" ujar kepala preman yang membunuh ayahnya sambil disambut gelak tawa di belakangnya.

Tanpa banyak bicara anak kecil itu sambil melompat menghunuskan pisau ke perut si preman. Dan tepat mengenai ulu hatinya, pria berbadan besar itu jatuh tersungkur ke tanah. Arif pun langsung lari pulang ke rumah setelahnya. Akhirnya selesai sholat subuh esok paginya ia digelandang ke kantor polisi.

"Arif nih sering bikin repot petugas di Lapas!" ujar kepala lapas yang ikut menemani saya mewawancarai arif sambil tersenyum. Ternyata sejak di penjara dua tahun lalu. Anak ini sudah tiga kali melarikan diri dari selnya. Dan caranya pun menurut saya tergolong ajaib.

Pelarian pertama dilakukannya dengan cara yang tak terpikirkan siapapun. Setiap pagi sampah-sampah dari Lapas itu di jemput oleh mobil kebersihan. Sadar akan hal ini, diam-diam Arif menyelinap ke dalam salah satu kantung sampah. Hasilnya 1-0 untuk Arif. Ia berhasil keluar dari penjara.

Pelarian kedua lebih kreatif lagi. Anak yang doyan baca ini pernah membaca artikel tentang fermentasi makanan tape (ingat lho waktu wawancara usianya baru 8 tahun). Dari situ ia mendapat informasi bahwa tape mengandung udara panas yang bersifat destruktif terhadap benda keras.

Kebetulan pula di Lapas anak ini disediakan tape uli dua kali dalam seminggu. Setiap disediakan tape, arif selalu berpuasa karena jatah tape itu dibalurkannya ke dinding tembok sel tahanannya. Hasilnya setelah empat bulan, tembok penjara itu menjadi lunak seperti tanah liat. Satu buah lubang berhasil dibuatnya. 2-0 untuk arif. Ia keluar penjara ke dua kalinya.

Pelarian ke tiganya dilakukan ala Mission Imposible. Arif yang ditugasi membersihkan kamar mandi melihat ember sebagai sebuah solusi. Besi yang berfungsi sebagai pegangan ember itu di simpan di dalam kamarnya. Tahu bahwa dirinya sudah diawasi sangat ketat, Arif memilih tempat persembunyian paling aman sebelum memutuskan untuk kabur.

Ruang kepala Lapas menjadi pilihannya. Alasannya jelas, karena tidak pernah satu pun penjaga berani memeriksa ruang ini. Ketika tengah malam ia menyelinap keluar dengan menggunakan besi pegangan ember untuk membuka pintu dan gembok. Jangan Tanya saya bagaimana caranya, pokoknya tahu-tahu ia sudah di luar. 3-0 untuk Arif.

Lantas kenapa ia bisa tertangkap lagi? Rupanya kepintaran itu masih berada di sebuah kepala bocah.Pelarian-pelariannya didorong dari rasa kangennya terhadap ibunya. Anak ini keluar dari penjara hanya untuk ke rumah sang ibunda tercinta. Jadi dari Lapas tanggerang ia menumpang-numpang mobil Omprengan dan juga berjalan kaki sekian kilometer dengan satu tujuan, pulang!

Karena itu pula pada pelarian Arif yang ketiga, kepala Lapas yang juga seorang ibu ini meminta anak buahnya untuk tidak segera menjemput Arif. Hasilnya dua hari kemudian Arif kembali lagi ke lapas sambil membawa surat untuk kepala Lapas yang ditulisnya sendiri.

* Ibu kepala Arif minta maaf, tapi Arif kangen sama ibu Arif. * Tulisnya singkat.

Seorang anak cerdas yang harus terkurung dipenjara. Tapi, saya tidak lantas berpikir bahwa ia tidak benar-benar bersalah dan harus dibebaskan. Bagaimanapun juga ia telah menghilangkan nyawa seseorang. Tapi saya hanya berandai-andai jika saja, kebijakan bertindak cepat menangkap pembunuh si ayah (secepat polisi menangkap si Arif) pastinya saat ini anak pintar dan rajin itu tidak akan berada di tempat seperti ini.Dan kreativitasnya yang tinggi itu bisa berguna untuk hal yang lain.

Sayangnya si Arif itu cuma anak pedagang sayur miskin sementara si preman yang dibunuhnya selalu setia menyetor kepada pihak berwajib setempat. Itulah yang namanya keadilan di negeri ini!
Oleh Reza Gardino

Sumber :
 http://sad-ewing.staff.ugm.ac.id/hikmahdetail.php?id=30